Burung
merpati itu terbang rendah, lalu hinggap di kabel listrik di salah satu
gang. Ia datang kembali ke sini, ke kota yang sangat berarti. Setelah
mengatur nafas, kembali dikembangkannya sayap. Lalu terbang lagi,
meninggi hingga setara atap gedung bertingkat.
Ia
terus saja berputar-putar. Dengan wajah kebingungan, ia terbang di sisi
gedung yang penuh cermin. Wajahnya sedikit pucat, terlebih saat ia
kaget melihat wajahnya sendiri di cermin-cermin gedung. Ia telah
menempuh perjalanan panjang. Terbang di dinginnya malam, hinggap di
sejuknya pagi. Dan kini, perjalanan panjang terhenti di kotanya sendiri.
Tapi, sedaritadi ia tak berhasil mendapati pohon yang dulu menjadi
tempat tinggalnya. Pohon yang berdiri di samping rumah kayu.
Ia melihat sepasang pipit tengah bertengger di kabel listrik. Tanpa basa-basi ia mendekatinya.
“Hai kalian..sepasang pipit!” Sapa Merpati.
“Ya..” Jawab seekor pipit berwarna coklat.
“Bisa kah kalian membantuku?” Tanya Merpati.
“Tampaknya wajahmu pucat, ada apa denganmu Merpati?” Tanya pipit satunya, yang berwarna coklat bercampur putih.
“Wajahku pucat? Oh mungkin aku kelelahan..” Jawab Merpati.
“Oh ya, tadi mau minta bantuan apa?”
“Aku…sepertinya aku tersesat. Aku mencari sebuah rumah kayu di sekitar sini, ya persis di bawah situ…”
Belum
selesai Merpati menjelaskan, Pipit sudah memotong pembicaraan.
“Tersesat? Bukankah teman-temanmu di sana (menunjuk gerombolan Merpati
yang asik mengemil biji)”
“Tidak!
Bukan!..Aku baru saja tiba tadi, belum ada satu jam yang lalu. Aku
benar-benar tersesat, aku mencari rumahku dulu. Rumahku yang ada di
bawah situ. Yang penuh dengan pepohonan lebat, yang penuh dengan warna
hijau.” Celoteh Merpati.
Dua
pipit kini tertegun, mereka tampak antusias mendengar Merpati
‘mendongeng’. Merpati bercerita tentang kisahnya dulu, di kota ini. Ia
pernah punya sahabat Merpati, dulu mereka sering berbincang tentang
orang-orang yang tinggal di perumahan di bawah mereka. Tentang si kakek
yang menanti sang anak, dan juga tentang dua ibu muda.
“Lalu, kenapa kamu memilih untuk pergi berkelana?” tanya pipit coklat.
Merpati
memandang sekitar, sambil meneguk air liur. Ia terdiam sejenak, lalu
perlahan menjelaskan. Ia pergi berkelana semenjak sang betina mati
tertembak senapan yang diarahkan oleh manusia. Sementara, anaknya pun
sama mati di tangan jahil manusia yang berukuran kecil. Karena
ketakutanlah yang membawanya pergi, meninggalkan tempat kelahirannya.
“Dan, kenapa kau kembali ke sini? Apa karena hal yang sama, di tempatmu sana juga banyak yang membunuhmu?”
“Aku…”
Segala
cerita sudah berada di ujung lidah Merpati, tapi sayang sedikitpun tak
bisa diungkapkan. Sepasang pipit saling menatap, mereka menyesal telah
mencecar Merpati dengan pertanyaan. Pipit coklat bercampur putih
mendekap sayap Merpati.
“Maafkan
kami, membuatmu bersedih. Tampaknya kamu semakin pucat. Kalau begitu
ikutlah sementara dengan kami. Kita harus mencari makan karena hari
semakin sore.” Ajak Pipit coklat bercampur putih.
Merpati
tak menjawabnya dengan kata-kata tapi hanya anggukan. Lalu, mereka
terbang bersama menuju rumah mungil milik sepasang pipit. Tak diduga,
ternyata rumah itu berdekatan dengan pohon yang dulu jadi tempat tinggal
Merpati. Tapi, pohon itu tinggal separuh karena habis ditebang. Merpati
hampir saja terjun bebas karena syock.
Mereka
telah mendarat di ranting pohon jambu. Di sinilah sepasang merpati
tinggal. Merpati disuguhi sekantung biji-bijian, ia tersenyum menerima
pemberian itu.
“Terima kasih..” ucap Merpati pelan.
Pipit
berwarna coklat membalas senyuman, mereka senang berbagi. Setelah
dipastikan Merpati sudah segar kembali. Pipit mulai bercerita segala hal
yang membuat Merpati hampir pingsan tadi. Merpati mengatur nafas dalam,
sebelum ia benar-benar mendengarkannya. Bertemankan suara deru motor
dan mobil di jalan. Tiga burung berbincang di ambang senja.
“Merpati..mungkin
kamu sudah melalui perjalanan panjang ke sini, mungkin kamu berharap di
sini masih sama seperti saat sebelum kamu tinggalkan. Tapi, ketahuilah
segala sesuatu akan berubah sejalan dengan pergantian detik, menit, jam
serta hari. Dulu, mungkin kamu selalu menikmati segarnya aroma oksigen
pagi hari. Aku, tertegun bahagia mendapati ceritamu dulu tentang tempat
ini. Karena, aku dan dia hanya bisa merasakan oksigen yang bercampur
asap hitam. Sesak!”
Merpati terdiam.
“Merpati..kini
tempat tinggalmu berubah menjadi gedung-gedung yang penuh cermin.
Lihat, itu pohonmu dulu, sudah menjadi setengah karena ditebas. Tak ada
alasan kuat, tapi menurut tikus yang tinggal di bawahnya. Pohon itu
mengganggu jalan manusia lewat, dan sudah terlalu tinggi. Makanya
ditebang. Aku pun mulai gila tinggal di sekitar sini. Setiap hari suara
‘brum brumm..tit’ selalu memekakan telinga!”
“Oke cukup!” teriak Merpati
Sepasang pipit saling menatap. Merpati tampak ngos-ngosan setelah mendengar cerita tadi. Ia geram.
“Sepertinya
aku salah, kembali pulang ke kota ini. Terima kasih untuk sekantung
biji-bijian dan tempat beristirahatnya Pipit. Aku harus kembali
terbang.”
“Kemana Merpati?”
“Ntahlah..”
Jawaban yang tak terjawab membawa sayap Merpati kembali terbentang. Ia melesat ke udara, cepat dan gesit. Ia meninggalkan kenangan yang sudah tak harus dikenang.
***
Dan waktu..
Memang akan merubah segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar