Jumat, 14 Juni 2013

Miskinnya Imajinasi Politik Kita

Catatan: Tulisan ini dibuat sebagai coret-coret pasca Pileg 2009 dan sebelum Pilpres 2009, dalam kesimpulan bahwa banyak survei politik dan analisa hasil Pemilu, atau analisis kuantitatif dalam studi politik, memiliki kerentanan kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Problem atribusi adalah salah satu akarnya, di mana kemungkinan penyebabnya adalah kemiskinan imajinasi politik. Karena coret-coret, membaca tulisan ini memerlukan kehati-hatian.
Mengamati perkembangan wacana seputar Pemilu 2009, setidak-tidaknya terdapat tiga simptom sebuah penyakit yang kini menjangkiti dunia politik Indonesia, baik dari sisi akademik maupun sisi praksis. Jika boleh dikatakan, penyakit ini bernama kemiskinan imajinasi politik.
Pertama, hingga saat ini pembahasan atas tingginya angka golput, sebesar 49,6 juta pemilih menurut KPU, masih bermuara pada “golput substantif” dan “golput administratif”. Selain penuntutan terhadap KPU atas hilangnya hak contreng dan pendaftaran ulang pemilih, pendiskusian tentang bagaimana meningkatkan partisipasi politik elektoral maupun pasca pemilu begitu marjinal.
Kedua, dalam mengkritisi tingkah polah elit politik, nuansa moral dan ideal begitu kental dalam wacana “politisi versus negarawan”. Para komentator politik tampaknya lebih suka membahas harapan-harapan yang sebenarnya normatif dibandingkan mengajukan alternatif-alternatif yang tersedia yang dapat diambil oleh masyarakat.
Ketiga, ditengah semrawutnya sistem pemilu dan partai politik Indonesia, kini juga berkembang wacana mengenai penyederhanaan jumlah partai politik. Setelah 11 tahun reformasi, cukuplah menyedihkan jika sebagian akademisi, tua dan muda, kembali ke dalam pemikiran politik teknokratik Orde Baru.

Akibat Kemiskinan Imajinasi
Sebuah imajinasi politik yang diterima luas dapat memberikan orientasi kepada berbagai pengelompokkan masyarakat untuk melalui transisi sosio-politik seperti yang kini dialami Indonesia sejak 11 tahun silam. Bayangan atas sistem baru yang membawa kualitas baru kehidupan politik, impian yang bergerak lebih jauh dari hal-hal normatif seperti keadilan sosial ataupun kesejahteraan akan membuka jalan ke arah hal-hal yang lebih substantif dan terasa dibandingkan perang jargon dan cap yang kini terjadi. Pengalaman di negeri-negeri lain, seperti halnya belakangan terjadi pada pemilihan presiden AS, menunjukkan partisipasi dan komitmen politik meningkat di saat kuatnya imajinasi politik bahkan di tingkat akar-rumput.
Pemilu 1999 di satu sisi menunjukkan partisipasi politik berkaitan erat dengan imajinasi politik atas “demokrasi”. Demam berpolitik dan berorganisasi menjangkiti hampir semua pengelompokkan masyarakat.
Namun alih-alih bergerak lebih dalamnya demokratisasi ke hal-hal seperti mekanisme-mekanisme partisipatoris yang substansial, 11 tahun proses tersebut dengan mudah ditelikung oleh teknokrasi dan elit politik yang sebelumnya telah memiliki teknologi kekuasaan yang canggih untuk membatasi demokrasi hingga tidak mengganggu kepentingannya.
Contoh-contoh dari pembatasan ini cukup banyak. Ide-ide partisipatoris yang menjadi impian Reformasi kini menjadi sistem Musrenbang yang begitu menjelimet dengan diagram alir yang begitu panjang. Perbincangan mengenai mutu pendidikan nasional yang menjadi pilar bangsa direduksi menjadi persoalan quota anggaran belanja pendidikan. Peran negara dalam kesejahteraan sosio-ekonomi rakyatnya begitu dipangkas hingga menjadi seperangkat jargon dan program-program kuratif seperti UKM, BLT, dan PNPM, yang peran maksimalnya hanya mengurangi dampak gilasan rentetan krisis kapitalisme global.
Pilar-Pilar Kemiskinan Imajinasi
Tampaknya, beberapa faktor memberikan sumbangan cukup besar ke dalam miskinnya imajinasi politik di Indonesia.
Faktor pertama adalah tidak disadarinya bahwa kondisi depolitisasi warisan Orde Baru masih terus berlanjut. Melorotnya perolehan suara partai-partai lama dengan drastis dan melonjaknya perolehan partai-partai baru dalam tiga pemilu terakhir (1999, 2004, dan 2009) menunjukkan bahwa para pemilih dalam keadaan mengambang dan menentukan preferensi politiknya menjelang pemilu dalam hubungan yang lebih bersifat transaksi cash and carry, ketimbang komitmen politik dengan konstituen. Dalam pemilu yang transaksional ini, suara dapat ditukar dengan uang puluhan ribu rupiah ataupun harapan hasil politik pencitraan.
Depolitisasi ini juga ditopang oleh sikap “harga mati”, yang diikuti dengan tindakan intimidasi dan pemberangusan seperti pembakaran/sweeping buku. Akibatnya, perbincangan yang lebih substansial menjadi buntu. Tengok saja persoalan pengungkapan pelanggaran HAM di masa lalu ataupun diskusi mengenai sistem kekuasaan federal.
Faktor kedua, di tengah-tengah mandeknya perjalanan demokratisasi, keinginan untuk regularisasi kehidupan berpolitik juga cukup terasa. Representasinya adalah kata-kata “stabilitas politik” dan “kebablasan”. Periode transisi memang selalu bergejolak karena berbagai pengelompokkan sosial politik, termasuk di dalamnya anggota-anggota aparatus negara, bermanuver dan bernegosiasi untuk memperoleh posisi dalam pencarian kesetimbangan baru. Namun gejolak-gejolak tersebut tidak dilihat sebagai tantangan yang harus diatasi untuk menuju kualitas baru. Malahan, beberapa kalangan yang mendambakan regularisasi perpolitikan menganggap bahwa stabilitas, kontinuitas, dan governability, adalah hal yang utama.
Karena banyak orang yang berharap akan regularisasi, upaya-upaya membuat gebrakan politik menjadi minimal. Konsekuensinya cukup dalam. Dari sisi kualitas, nuansa dua kali pemilu kita begitu hambar dan membosankan. Hingar bingar secara superfisial dan harus ditambah perdebatan yang banal (seperti keajaiban tuduhan neoliberal belakangan ini), namun hampa akan gerakan politik dan ide politik yang bernas. Lalu apa gunanya pemilihan umum yang mahal jika tidak ada kemajuan kualitatif dalam pemerintahan berikutnya?
Faktor ketiga, yang merupakan kulminasi dari dua lainnya, adalah begitu dominannya kuantifikasi dalam menganalisa dinamika politik. Bukan bermaksud mengesampingkan peran penting survey ataupun polling, tapi masalahnya adalah kenaifan berpikir yang meletakkan bahwa angka bisa menjelaskan segalanya ataupun menjadi landasan utama dari tindakan politik. Apakah angka penerimaan masyarakat terhadap seorang presiden akan bisa menjelaskan kebijakan-kebijakannya benar atau salah? Contoh lainnya, layakkah sebuah kelompok politik bergabung dengan kelompok-kelompok politik lainnya hanya karena gabungan angka elektoralnya pasti menang?
Kita tidak dapat mengesampingkan bahwa kuantifikasi politik lahir sebagai teknologi kekuasaan. Para pionirnya di Amerika Serikat memang bercita-cita untuk dapat mendengar suara-suara dari silent majority dengan metode-metode ilmiah, sehingga dapat memberi masukan ke dalam proses pengambilan kebijakan. Artinya, kuantifikasi politik menjadi subordinat dari kekuasaan yang diasumsikan sudah tegak.
Perlunya Cara Baru Berpolitik

Tampaknya, imajinasi politik yang kini dapat dibangun untuk mengobati kehidupan politik Indonesia adalah imajinasi atas adanya cara berpolitik di luar cara-cara yang tersedia selama ini. Kebuntuan-kebuntuan akan terus berlanjut dan bermunculan jika rakyat terus dibiarkan digiring mengikuti pakem berpolitik yang ditegakkan oleh elit dan teknokrat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar