Catatan: Tulisan ini dibuat sebagai coret-coret pasca Pileg 2009
dan sebelum Pilpres 2009, dalam kesimpulan bahwa banyak survei politik
dan analisa hasil Pemilu, atau analisis kuantitatif dalam studi politik,
memiliki kerentanan kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Problem
atribusi adalah salah satu akarnya, di mana kemungkinan penyebabnya
adalah kemiskinan imajinasi politik. Karena coret-coret, membaca tulisan
ini memerlukan kehati-hatian.
Mengamati perkembangan wacana seputar Pemilu 2009, setidak-tidaknya
terdapat tiga simptom sebuah penyakit yang kini menjangkiti dunia
politik Indonesia, baik dari sisi akademik maupun sisi praksis. Jika
boleh dikatakan, penyakit ini bernama kemiskinan imajinasi politik.
Pertama, hingga saat ini pembahasan atas tingginya angka golput,
sebesar 49,6 juta pemilih menurut KPU, masih bermuara pada “golput
substantif” dan “golput administratif”. Selain penuntutan terhadap KPU
atas hilangnya hak contreng dan pendaftaran ulang pemilih, pendiskusian
tentang bagaimana meningkatkan partisipasi politik elektoral maupun
pasca pemilu begitu marjinal.
Kedua, dalam mengkritisi tingkah polah elit politik, nuansa moral dan
ideal begitu kental dalam wacana “politisi versus negarawan”. Para
komentator politik tampaknya lebih suka membahas harapan-harapan yang
sebenarnya normatif dibandingkan mengajukan alternatif-alternatif yang
tersedia yang dapat diambil oleh masyarakat.
Ketiga, ditengah semrawutnya sistem pemilu dan partai politik
Indonesia, kini juga berkembang wacana mengenai penyederhanaan jumlah
partai politik. Setelah 11 tahun reformasi, cukuplah menyedihkan jika
sebagian akademisi, tua dan muda, kembali ke dalam pemikiran politik
teknokratik Orde Baru.
Akibat Kemiskinan Imajinasi
Sebuah imajinasi politik yang diterima luas dapat memberikan
orientasi kepada berbagai pengelompokkan masyarakat untuk melalui
transisi sosio-politik seperti yang kini dialami Indonesia sejak 11
tahun silam. Bayangan atas sistem baru yang membawa kualitas baru
kehidupan politik, impian yang bergerak lebih jauh dari hal-hal normatif
seperti keadilan sosial ataupun kesejahteraan akan membuka jalan ke
arah hal-hal yang lebih substantif dan terasa dibandingkan perang jargon
dan cap yang kini terjadi. Pengalaman di negeri-negeri lain, seperti
halnya belakangan terjadi pada pemilihan presiden AS, menunjukkan
partisipasi dan komitmen politik meningkat di saat kuatnya imajinasi
politik bahkan di tingkat akar-rumput.
Pemilu 1999 di satu sisi menunjukkan partisipasi politik berkaitan
erat dengan imajinasi politik atas “demokrasi”. Demam berpolitik dan
berorganisasi menjangkiti hampir semua pengelompokkan masyarakat.
Namun alih-alih bergerak lebih dalamnya demokratisasi ke hal-hal
seperti mekanisme-mekanisme partisipatoris yang substansial, 11 tahun
proses tersebut dengan mudah ditelikung oleh teknokrasi dan elit politik
yang sebelumnya telah memiliki teknologi kekuasaan yang canggih untuk
membatasi demokrasi hingga tidak mengganggu kepentingannya.
Contoh-contoh dari pembatasan ini cukup banyak. Ide-ide
partisipatoris yang menjadi impian Reformasi kini menjadi sistem
Musrenbang yang begitu menjelimet dengan diagram alir yang begitu
panjang. Perbincangan mengenai mutu pendidikan nasional yang menjadi
pilar bangsa direduksi menjadi persoalan quota anggaran belanja
pendidikan. Peran negara dalam kesejahteraan sosio-ekonomi rakyatnya
begitu dipangkas hingga menjadi seperangkat jargon dan program-program
kuratif seperti UKM, BLT, dan PNPM, yang peran maksimalnya hanya
mengurangi dampak gilasan rentetan krisis kapitalisme global.
Pilar-Pilar Kemiskinan Imajinasi
Tampaknya, beberapa faktor memberikan sumbangan cukup besar ke dalam miskinnya imajinasi politik di Indonesia.
Faktor pertama adalah tidak disadarinya bahwa kondisi depolitisasi
warisan Orde Baru masih terus berlanjut. Melorotnya perolehan suara
partai-partai lama dengan drastis dan melonjaknya perolehan
partai-partai baru dalam tiga pemilu terakhir (1999, 2004, dan 2009)
menunjukkan bahwa para pemilih dalam keadaan mengambang dan menentukan
preferensi politiknya menjelang pemilu dalam hubungan yang lebih
bersifat transaksi cash and carry, ketimbang komitmen politik dengan
konstituen. Dalam pemilu yang transaksional ini, suara dapat ditukar
dengan uang puluhan ribu rupiah ataupun harapan hasil politik
pencitraan.
Depolitisasi ini juga ditopang oleh sikap “harga mati”, yang diikuti
dengan tindakan intimidasi dan pemberangusan seperti pembakaran/sweeping
buku. Akibatnya, perbincangan yang lebih substansial menjadi buntu.
Tengok saja persoalan pengungkapan pelanggaran HAM di masa lalu ataupun
diskusi mengenai sistem kekuasaan federal.
Faktor kedua, di tengah-tengah mandeknya perjalanan demokratisasi,
keinginan untuk regularisasi kehidupan berpolitik juga cukup terasa.
Representasinya adalah kata-kata “stabilitas politik” dan “kebablasan”.
Periode transisi memang selalu bergejolak karena berbagai pengelompokkan
sosial politik, termasuk di dalamnya anggota-anggota aparatus negara,
bermanuver dan bernegosiasi untuk memperoleh posisi dalam pencarian
kesetimbangan baru. Namun gejolak-gejolak tersebut tidak dilihat sebagai
tantangan yang harus diatasi untuk menuju kualitas baru. Malahan,
beberapa kalangan yang mendambakan regularisasi perpolitikan menganggap
bahwa stabilitas, kontinuitas, dan governability, adalah hal yang utama.
Karena banyak orang yang berharap akan regularisasi, upaya-upaya
membuat gebrakan politik menjadi minimal. Konsekuensinya cukup dalam.
Dari sisi kualitas, nuansa dua kali pemilu kita begitu hambar dan
membosankan. Hingar bingar secara superfisial dan harus ditambah
perdebatan yang banal (seperti keajaiban tuduhan neoliberal belakangan
ini), namun hampa akan gerakan politik dan ide politik yang bernas. Lalu
apa gunanya pemilihan umum yang mahal jika tidak ada kemajuan
kualitatif dalam pemerintahan berikutnya?
Faktor ketiga, yang merupakan kulminasi dari dua lainnya, adalah
begitu dominannya kuantifikasi dalam menganalisa dinamika politik. Bukan
bermaksud mengesampingkan peran penting survey ataupun polling, tapi
masalahnya adalah kenaifan berpikir yang meletakkan bahwa angka bisa
menjelaskan segalanya ataupun menjadi landasan utama dari tindakan
politik. Apakah angka penerimaan masyarakat terhadap seorang presiden
akan bisa menjelaskan kebijakan-kebijakannya benar atau salah? Contoh
lainnya, layakkah sebuah kelompok politik bergabung dengan
kelompok-kelompok politik lainnya hanya karena gabungan angka
elektoralnya pasti menang?
Kita tidak dapat mengesampingkan bahwa kuantifikasi politik lahir
sebagai teknologi kekuasaan. Para pionirnya di Amerika Serikat memang
bercita-cita untuk dapat mendengar suara-suara dari silent majority
dengan metode-metode ilmiah, sehingga dapat memberi masukan ke dalam
proses pengambilan kebijakan. Artinya, kuantifikasi politik menjadi
subordinat dari kekuasaan yang diasumsikan sudah tegak.
Perlunya Cara Baru Berpolitik
Tampaknya, imajinasi politik yang kini dapat dibangun untuk mengobati
kehidupan politik Indonesia adalah imajinasi atas adanya cara
berpolitik di luar cara-cara yang tersedia selama ini.
Kebuntuan-kebuntuan akan terus berlanjut dan bermunculan jika rakyat
terus dibiarkan digiring mengikuti pakem berpolitik yang ditegakkan oleh
elit dan teknokrat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar